
Di tengah penyesuaian Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP), pemerintah didorong untuk menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium, bukan beras medium.
Research Associate Centre of Reform on Economics (CORE) Sahara mengatakan beras medium saat ini menjadi konsumsi utama mayoritas penduduk Indonesia. Sementara, beras premium umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi yang dinilai lebih mampu menyerap kenaikan harga.
“Jika HET itu mau dinaikkan, itu jangan beras medium. Karena beras medium itu banyak dikonsumsi oleh masyarakat,” ujar Sahara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan HET beras ini perlu disesuaikan karena adanya perubahan kebijakan HPP untuk gabah kering panen di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram, yang diberlakukan sejak awal tahun ini.
Salah satu poin penting dalam kebijakan ini adalah penghapusan rafaksi harga. Artinya, harga gabah dan beras yang dihasilkan petani tidak lagi akan disesuaikan atau dipotong berdasarkan kualitasnya.
Penetapan HPP GKP yang lebih tinggi ini diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih bagi petani, sehingga mereka tetap semangat berproduksi untuk mendukung swasembada pangan.
Namun, sejumlah pengamat berpendapat bahwa kenaikan HPP ini juga perlu dibarengi dengan kenaikan HET beras. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan insentif di seluruh rantai pasok, mulai dari petani, penggilingan, hingga konsumen, serta menstabilkan harga beras sebagai komoditas pokok.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi sebelumnya mengatakan pemerintah akan mempertimbangkan untuk menyesuaikan HET beras medium, menyusul penetapan HPP gabah kering panen Rp6.500 per kg.
Menurut Arief, penyesuaian HET harus mempertimbangkan banyak aspek untuk mencapai harga yang wajar dan adil bagi semua pihak dalam rantai pasok perberasan.