Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat peningkatan konsumsi makanan dan minuman cepat saji di antara penduduk Indonesia.
Gorengan tercatat memiliki kenaikan paling signifikan, yakni 6,7% dari sebelumnya 45% pada 2018 menjadi 51,7% pada 2023. Dari besaran persentase tersebut, tercatat penduduk Indonesia usia 6 tahun ke atas menyantap gorengan 1-6 kali seminggu.
Peningkatan konsumsi gorengan tentu saja membuat ancaman kematian semakin meningkat. Sebab, gorengan yang terkadang diproses dari tepung dan olahan minyak berulang berdampak ke kesehatan masyarakat. Salah satunya ancaman penyakit kardiovaskular atau jantung dan pembuluh darah.
Meningkatnya konsumsi gorengan masyarakat tak terlepas dari kemudahan memperoleh minyak goreng dan tepung terigu yang dalam sejarahnya baru terjadi pada dekade 1970-an.
Gorengan atau kegiatan menggoreng makanan sudah lazim dilakukan di Indonesia sejak awal abad ke-20. Hanya saja, kebiasaan itu sulit dilakukan sebab tepung dan minyak harganya mahal.
Barulah kebiasaan ini berubah tatkala muncul industri tepung dan minyak sawit di Indonesia. Pada 1970, pengusaha Sudono Salim memperkenalkan merek tepung pertama di Indonesia. Namanya Bogasari.
Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), hadirnya merek Bogasari membuat masyarakat Indonesia mudah menjangkau tepung. Tepung jadi lebih murah dan membuat penduduk terbiasa mengkonsumsi makanan olahan tepung.
Pada saat bersamaan, hadir pula merek-merek baru minyak goreng dari kelapa sawit yang menggantikan minyak kelapa. Sejarah mencatat pengusaha-pengusaha besar, seperti Sudono Salim dan Eka Tjipta Widjaja, memperkenalkan merek baru minyak goreng.
Sebut saja, seperti Bimoli, Kunci Mas, dan Filma. Semuanya kelak berperan penting dalam penyediaan minyak goreng selama Orde Baru. Bahkan, Bustanil Arifin dalam Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia (2004) menyebut, Bimoli pernah menguasai 75% pasar minyak goreng dalam negeri di era Orde Baru.
Pada akhirnya, peran pengusaha industri sawit dan tepung secara tidak langsung mengajari rakyat menikmati gorengan di tiap momen kehidupan. Masifnya tepung dan minyak goreng lantas membuat orang Indonesia makin terbiasa dengan gorengan.
Di dapur masyarakat, sudah ada tepung dan minyak goreng. Keduanya diolah menjadi gorengan, makanan yang bisa dilepaskan dari menu santapan harian masyarakat sekalipun mengancam kesehatan.